Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
di Masa Pandemi COVID-19

CSIS Indonesia
CSIS Notes
Published in
7 min readJun 7, 2023

--

Iis Gindarsah

Pada rapat kabinet awal Mei 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menginstruksikan seluruh pimpinan kementerian/lembaga negara untuk segera mengendalikan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) “dengan cara apa pun”. Perintah sapu jagat ini meniscayakan pengerahan segenap kemampuan dan sumber daya, termasuk intelijen dan militer untuk memutus mata rantai penularan penyakit itu. Dalam dua bulan terakhir, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah terlibat di antaranya dalam rangka pemulangan warga negara Indonesia dan pengiriman bantuan kemanusiaan dari/ke negara sahabat seperti Tiongkok dan Fiji. Naskah ini memuat proyeksi skenario dan rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan “operasi militer selain perang” (OMSP) dalam rangka penanggulangan pagebluk terkini di Indonesia.

Skenario Pelibatan Militer

Secara teoritis, operasi selain perang merupakan pemanfaatan “kapasitas tak terpakai” (idle capacity) organisasi militer di masa damai. Pelibatan TNI dalam penanganan pandemi COVID-19 cenderung dipengaruhi oleh tiga faktor risiko, yaitu tingkat penularan wabah penyakit itu, kemampuan institusi sipil untuk mengatasinya dan dampak pandemi terhadap stabilitas sosial-politik. Kombinasi ketiganya akan menghasilkan sembilan situasi hipotetis atau skenario keamanan dalam negeri (lihat Bagan 1). Kondisi ideal dapat tercipta apabila institusi sipil memiliki kemampuan yang memadai, baik untuk menanggulangi pagebluk maupun memelihara keamanan dan ketertiban umum. Sebaliknya, perkembangan negatif diproyeksikan terjadi di tengah keterbatasan kapasitas atau bahkan ketidakmampuan birokrasi sipil dan melemahnya pranata sosial akibat pandemi.

Mengacu pada kesembilan skenario tersebut, ada tiga karakter OMSP oleh TNI dalam rangka penanggulangan wabah COVID-19 dan dampaknya. Pertama, operasi bakti (civic action) yang digelar dalam situasi relatif stabil sebagai wujud kepedulian sosial oleh militer seperti penyediaan layanan medis dan pendistribusian logistik kesehatan di daerah-daerah yang terdampak. Kedua, tugas-tugas “perbantuan” TNI untuk mendukung atau menopang kapasitas institusi-institusi sipil dalam menangani dampak dan mengantisipasi risiko-risiko sosial. Penugasan ini antara lain membantu otoritas di bidang kesehatan, transportasi, keimigrasian dan kepolisian dalam menegakkan aturan atau protokol pencegahan penularan wabah. Ketiga, pengerahan kekuatan militer dalam rangka pemulihan keamanan dalam negeri. Karakter OMSP ini cenderung ditempatkan sebagai upaya terakhir untuk meredam skenario terburuk berupa krisis politik dan gejolak sosial akibat memuncaknya angka penularan penyakit.

Bagan 1. Skenario Stabilitas Keamanan dan OMSP di Masa Pandemi

Regulasi dan Praktik

Secara umum, ada setidaknya empat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar legal bagi pelibatan TNI dalam rangka penanggulangan dampak wabah COVID-19. Regulasi pertama adalah Undang-Undang (UU) №24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 4 mengatur bahwa salah satu tujuan penanggulangan bencana adalah “menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada”. Artinya, undang-undang ini merupakan rujukan utama untuk “menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh”.

Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 50, undang-undang ini menetapkan bahwa dalam hal status keadaan darurat bencana, “Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (…) mempunyai kemudahan akses yang meliputi (…) komando untuk memerintahkan sektor/lembaga” termasuk TNI. Saat ini, pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Keputusan Presiden (Keppres) №7 dan 9/2020 pun menetapkan Kepala BNPB Letjen Doni Monardo sebagai Ketua Pelaksana dan pejabat Asisten Operasi Panglima TNI selaku salah satu Wakil Ketua Pelaksana.

Yang kedua adalah UU №3/2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-undang ini cenderung mengategorikan wabah COVID-19 sebagai ancaman “non-militer”. Karena itu, mengacu pada Pasal 7 dan 19, penanggulangannya menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama atau dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi. Namun demikian, ketentuan dan penjelasan Pasal 10 ayat (3) UU Pertahanan Negara tetap memberi peluang bagi TNI untuk melaksanakan operasi militer selain perang dalam rangka penanggulangan bencana “berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan”.

Tabel 1. Kerangka Regulasi Terkait OMSP untuk Penanganan Bencana

Regulasi ketiga adalah UU №34/2004 tentang TNI. Secara spesifik, Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa pemerintah dapat menggelar 14 bentuk OMSP termasuk untuk “membantu penanggulangan akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusian”. Sejak disahkan tahun 2004, TNI telah dilibatkan setidaknya 8 (delapan) kali dalam OMSP untuk penanggulangan bencana, yaitu pada saat tsunami di Aceh (2004), gempa di Nias (2005), Yogyakarta (2006), Sumatera Barat (2009), banjir bandang di Wasior (2010), gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai (2010), gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu (2018).

Meskipun telah ditetapkan sebagai peristiwa “bencana non-alam”, pemerintah tetap dapat menggelar OMSP untuk penanggulangan pagebluk COVID-19. Peraturan Menteri Pertahanan №9/2011 tentang pokok-pokok penyelenggaraan bantuan TNI dalam menanggulangi bencana alam, pengungsian dan bantuan kemanusiaan menjelaskan bahwa “bantuan kemanusiaan adalah bantuan yang diberikan untuk menjamin hakikat dan martabat manusia yang terganggu atau berkurang karena bencana alam dan lain-lain”. Merujuk pada ketentuan tersebut, pelibatan TNI untuk menanggulangi wabah penyakit terkini dapat dikategorikan sebagai OMSP dalam rangka pemberian bantuan kemanusian.

OMSP juga dapat digelar untuk tugas-tugas perbantuan lainnya. Berdasarkan UU №6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah telah menerbitkan Keppres №11/2020 tentang penetapan kedaruratan masyarakat akibat pandemi COVID-19 dan Peraturan Pemerintah (PP) №21/2020 tentang “pembatasan sosial berskala besar” (PSBB) guna mengatasi penyebaran wabah. Dalam konteks itu, TNI dapat dilibatkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan-kebijakan teknis melalui gelar OMSP untuk “membantu tugas pemerintahan di daerah” dan “membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat”.

Bahkan, pemerintah dapat menggelar OMSP untuk “mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis”. Keppres №63/2004 telah mengatur kriteria obyek-obyek yang dimaksud tersebut, yaitu: (i) menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari; (ii) ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan; (iii) ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau (iv) ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara. Mengingat urgensi dan dampaknya terhadap keselamatan bangsa, pemerintah dapat melibatkan personil TNI untuk menjaga fasilitas-fasilitas strategis seperti rumah sakit darurat dan pusat-pusat logistik.

Rezim peraturan yang keempat adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) №23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Pada prinsipnya, regulasi ini dapat diberlakukan apabila dalam penanggulangan wabah COVID-19, terjadi konflik bersenjata, ancaman kekerasan dan gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara. Pasal 1 regulasi ini mengatur bahwa pemerintah dapat mendeklarasikan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam 3 tingkatan keadaan, yaitu darurat sipil, darurat militer, dan perang. Berbeda dari undang-undang kedaruratan lainnya, risiko utama dari pemberlakuan Perppu №23/1959 adalah penganuliran kebebasan sipil yang cenderung akan memantik polemik politik dan penentangan dari masyarakat sipil.

Guna mengantisipasi skenario terburuk, pemerintah dapat mempertimbangkan penerbitan Perppu baru dengan 2 alternatif substansi, yaitu (1) memuat pengaturan yang ditujukan untuk mengantisipasi berbagai spektrum keadaan bahaya; atau (2) memuat ketentuan-ketentuan yang khusus untuk menanggulangi risiko keamanan selama penanganan pandemi COVID-19. Substansi lain yang perlu diatur dalam Perppu baru tersebut adalah pengaturan tentang mobilisasi sumber daya nasional dalam penanggulangan kedaruratan. Aspek ini penting mengingat ketentuan Pasal 63 dalam UU №23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara mensyaratkan bahwa pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan keadaan darurat militer atau keadaan perang untuk memobilisasi warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana.

Komando Tugas Gabungan Terpadu TNI

Secara umum, Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) TNI adalah komando tugas yang bersifat sementara (ad-hoc) dan dibentuk sesuai dengan karakter bencana. Komando tugas ini pertama kali diadopsi oleh TNI dalam penanggulangan bencana alam pada tahun 2018 (lihat Bagan 2). Dalam struktur Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan Pasca Gempa Lombok, misalnya, pimpinan Kogasgabpad TNI bertindak selaku Komandan dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat bertindak selaku Penanggung Jawab dan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat selaku wakil komandan.

Bagan 2. Organisasi Kogasgabpad TNI (2018)

Sebagai bagian dari Gugus Tugas COVID-19, Markas Besar (Mabes) TNI telah membentuk 4 Kogasgabpad di bawah pengawasan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I, yaitu di Wisma Atlet Kemayoran, Pulau Natuna, Pulau Sebaru dan Pulau Galang. Keempat komando tugas tersebut dipimpin secara berturut-turut oleh Panglima Kodam Jaya, Panglima Koopsau I, Panglima Koarmada I dan Panglima Kodam I/Bukit Barisan. Secara operasional, masing-masing Kogasgabpad terdiri dari “satuan pendamping” yang bertugas menangani pasien COVID-19, “satuan pendukung” yang menangani dukungan komando dan kendali, kemarkasan, administrasi, logistik dan peralatan, serta “satuan pengamanan” yang ditempatkan di ring-1, 2 dan 3 fasilitas kesehatan darurat tersebut.

Dalam rangka mempercepat penanganan pandemi tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan 2 alternatif penguatan peran Kogasgabpad TNI. Pertama, merancang struktur Kogasgabpad yang lebih sesuai untuk mendukung pelaksanaan kebijakan “pembatasan sosial berskala besar” (PSBB) di daerah; hingga bulan ini, tercatat sebanyak 19 kabupaten/kota di 12 provinsi telah memberlakukan PSBB (lihat Bagan 2). Kogasgabpad tersebut dapat dikepalai oleh Panglima Komando Utama Operasi (Kotamaops) TNI di wilayah-wilayah yang dianggap menjadi episentrum pandemi.

Bagan 3. Daftar Daerah dan Linimasa Pemberlakuan PSBB

Kedua, membentuk susunan organisasi Komando Tugas Gabungan Terpadu Nasional (Kogasgabpadnas). Idealnya, komando tugas ini dijabat oleh perwira senior dengan otoritas untuk menggunakan kekuatan TNI bagi kepentingan OMSP di masa pandemi. Mengacu pada Pasal 14 dan 15 dalam Peraturan Presiden (Perpres) №66/2019 tentang Susunan Organisasi TNI, peran komando tersebut hanya dapat dipegang langsung oleh Panglima TNI atau didisposisikan kepada Wakil Panglima. Alternatif ini cenderung dapat ditempatkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan Keppres №12/2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional.

Iis Gindarsah, Peneliti, Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia, iis.gindarsah@csis.or.id

Artikel ini dipublikasikan di CSIS Commentary pada tanggal 22 Mei 2023

--

--